Sabtu, 13 Desember 2014

Pernyataan Publik Amnesty Internasional tentang aksi brutal TNI/Polisi terhadap masyarakat Papua di Paniai

Index: ASA 21/032/2014
10 Desember 2014

Indonesia: Investigasi penggunaan kekuatan berlebih dari  pasukan keamanan terhadap orang-orang Papua di Paniai

Amnesty International sangat prihatin akan laporan-laporan yang menyatakan bahwa pasukan keamanan Indonesia melakukan penembakan dan menewaskan paling tidak lima orang, semuanya adalah pelajar, di Paniai, provinsi Papua. Pemerintahan yang baru harus mengakhiri iklim impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Amnesty International menyerukan sebuah investigasi terhadap tindak pembunuhan tersebut. 

Empat orang tewas dan lebih dari lusinan orang terluka ketika pasukan keamanan, baik polisi maupun militer, diduga melakukan penembakan pada pagi hari 8 Desember pada sebuah kerumunan orang yang sedang melakukan protes di lapangan Karel Gobai yang berlokasi dekat dengan Koramil Paniai. Orang  kelima tewas dari luka peluru beberapa jam setelahnya di sebuah rumah sakit. Kerumunan orang tersebut dilaporkan berkumpul untuk memprotes sejumlah serdadu dari Tim Khusus Bataliyon 753, yangdituduh telah memukul seorang anak kecil dari kampung Ipakije malam sebelumnya, yang kemudian dibawa ke rumah sakit. Sebelum penembakan tersebut, para pengunjuk rasa dilaporkan menghancurkan kendaraan yang ditumpangi para serdadu tersebut semalam sebelumnya.

Amnesty International menyerukan sebuah investigasi yang cepat, independen dan imparsial terhadap pembunuhan tersebut dan penggunaan kekuatan berlebihan yang terlihat digunakan oleh pasukan keamanan Indonesia. Temuan-temuan dari investigasi tersebut harus dipublikasikan dan mereka yang bertanggung jawab, termasuk orang-orang yang memegang tanggung jawab komando, harus diadili di  pengadilan sipil yang prosesnya harus sesuai dengan standar-standar peradilan adil (fair trial) internasional, tanpa penggunaan hukuman mati. Para korban dan keluarganya harus disediakan reparasi.

Meski Amnesty International mengakui hambatan-hambatan terkait dengan pemolisian menghadapi kumpulan massa, pasukan keamanan Indonesia hanya boleh menggunakan kekuatan kekerasan setelah upaya-upaya non-kekerasan terbukti tidak efektif dan dan dengan kepatuhan yang ketat terhadap prinsip-prinsip keharusan dan proporsionalitas.

Negara-negara memiliki tugas kewajiban untuk menghormati hak atas hidup, yang tertera dalam hukum dan standar-standar HAM internasional yang relevan. Pasal 6 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Indonesia adalah Negara Pihaknya, menyediakan hak bagi setiap orang untuk bebas dari perampasan hidup secara sewenang-wenang, yang yang artinya terdapat batas-batas tertentu terhadap penggunaan kekuatan. Ketentuan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Pelapor Khusus PBB mengenai Penghukuman di Luar Hukum (UN Special Rapporteur on Extrajudicial Executions), mewajibkan Negara-negara untuk melakukan investigasi yang memadai ketika ada alasan yang bisa dipercaya bahwa suatu perampasan hidup secara sewenang-wenang telah terjadi. Hak atas hidup juga tercantum di dalam Konstitusi Indonesia.

Pasukan keamanan Indonesia harus mendapat pelatihan yang cukup dan perlengkapan yang memadai untuk menjalankan metode-metode non-kekerasan dalam pengendalian massa. Aparat penegak hukum dan pasukan keamanan harus menggunakan kekuatan dengan cara-cara non-mematikan yang harus dimiliki mereka untuk membubarkan protes jika diperlukan, sesuai dengan standar-standar HAM internasional.

Amnesty International percaya iklim impunitas memperburuk situasi HAM. Sudah terlalu sering para anggota aparat keamanan di Papua tidak menghadapi proses hukum atau hanya diberi sanksi ringan untuk suatu pelanggaran-pelanggaran HAM termasuk penyiksaan atau penganiayaan, penggunaan kekuatan berlebihan dan tidak perlu, dan pembunuhan di luar hukum.

Amnesty International terus mendesak akuntabilitas bagi kasus-kasus pembunuhan di masa lalu oleh pasukan keamanan.  Tidak ada satupun yang dimintai pertanggungjawaban terhadap pembunuhan tiga orang di Kongres Rakyat Papua Ketiga (Oktober 2011), satu orang di aksi mogok kerja pekerja tambang di Timika (Oktober 2011), tiga orang pada pertemuan keagamaan di Sorong (Mei 2013) atau pembunuhan aktivis politik Mako Tabuni (Juni 2013).
Minimnya akuntabilitas diperburuk oleh kegagalan untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer (No. 31/1997). Personel militer yang dituduh melakukan pelanggaran HAM saat ini diadili dalam suatu pengadilan militer. Amnesty International telah menyatakan keprihatinannya atas minimnya independensi dan imparsialitas dari persidangan-persidangan dalam sistem ini.

Amnesty International menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janji-janji  kampanyenya dan untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer sehingga personel militer yang diduga melakukan pelanggaran HAM bisa diinvestigasi dan diadili dalam suatu sistem pemidanaan sipil  yang independen, dan para korban dan saksi diberikan perlindungan yang memadai.

1 komentar:

  1. Paniai berdarah tanggal 8 Desember 2014 sudah dilaporkan kepada PBB lewat media sosial/eham net, LLC pada hari itu Juga dan jadi
    dasar pernyataan amnesti internasional tanggal 10 Desember 2014.

    BalasHapus