Index: ASA 21/032/2014
10 Desember 2014
Indonesia:
Investigasi penggunaan kekuatan berlebih dari
pasukan keamanan terhadap orang-orang Papua di Paniai
Amnesty International
sangat prihatin akan laporan-laporan yang menyatakan bahwa pasukan keamanan
Indonesia melakukan penembakan dan menewaskan paling tidak lima orang, semuanya
adalah pelajar, di Paniai, provinsi Papua. Pemerintahan yang baru harus mengakhiri
iklim impunitas bagi para pelaku pelanggaran
HAM tersebut. Amnesty International menyerukan sebuah investigasi terhadap tindak
pembunuhan tersebut.
Empat orang tewas dan
lebih dari lusinan orang terluka ketika pasukan keamanan, baik polisi maupun militer,
diduga melakukan penembakan pada pagi hari 8 Desember pada sebuah kerumunan
orang yang sedang melakukan protes di lapangan Karel Gobai yang berlokasi dekat
dengan Koramil Paniai. Orang kelima
tewas dari luka peluru beberapa jam setelahnya di sebuah rumah sakit. Kerumunan
orang tersebut dilaporkan berkumpul untuk memprotes sejumlah serdadu dari Tim
Khusus Bataliyon 753, yangdituduh telah memukul
seorang anak kecil dari kampung Ipakije malam sebelumnya, yang kemudian dibawa
ke rumah sakit. Sebelum penembakan tersebut, para pengunjuk rasa dilaporkan
menghancurkan kendaraan yang ditumpangi para serdadu tersebut semalam
sebelumnya.
Amnesty International
menyerukan sebuah investigasi yang cepat, independen dan imparsial terhadap pembunuhan
tersebut dan penggunaan kekuatan berlebihan yang terlihat digunakan oleh
pasukan keamanan Indonesia. Temuan-temuan dari investigasi tersebut harus
dipublikasikan dan mereka yang bertanggung jawab, termasuk orang-orang yang
memegang tanggung jawab komando, harus diadili di pengadilan sipil yang prosesnya harus sesuai
dengan standar-standar peradilan adil (fair trial) internasional, tanpa
penggunaan hukuman mati. Para korban dan keluarganya harus disediakan reparasi.
Meski Amnesty International mengakui hambatan-hambatan terkait dengan pemolisian menghadapi kumpulan massa, pasukan keamanan Indonesia hanya boleh menggunakan kekuatan kekerasan setelah upaya-upaya non-kekerasan terbukti tidak efektif dan dan dengan kepatuhan yang ketat terhadap prinsip-prinsip keharusan dan proporsionalitas.
Negara-negara memiliki
tugas kewajiban untuk menghormati hak atas hidup, yang tertera dalam hukum dan
standar-standar HAM internasional yang relevan. Pasal 6 dari Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Indonesia adalah
Negara Pihaknya, menyediakan hak bagi setiap orang untuk bebas dari perampasan
hidup secara sewenang-wenang, yang yang artinya terdapat batas-batas tertentu terhadap
penggunaan kekuatan. Ketentuan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Pelapor Khusus PBB
mengenai Penghukuman di Luar Hukum (UN Special Rapporteur on Extrajudicial
Executions), mewajibkan Negara-negara untuk melakukan investigasi yang memadai
ketika ada alasan yang bisa dipercaya bahwa suatu perampasan hidup secara
sewenang-wenang telah terjadi. Hak atas hidup juga tercantum di dalam
Konstitusi Indonesia.
Pasukan keamanan Indonesia
harus mendapat pelatihan yang cukup dan perlengkapan yang memadai untuk
menjalankan metode-metode non-kekerasan dalam pengendalian massa. Aparat
penegak hukum dan pasukan keamanan harus menggunakan kekuatan dengan cara-cara
non-mematikan yang harus dimiliki mereka untuk membubarkan protes jika
diperlukan, sesuai dengan standar-standar HAM internasional.
Amnesty International
percaya iklim impunitas memperburuk situasi HAM. Sudah terlalu sering para anggota
aparat keamanan di Papua tidak menghadapi proses hukum atau hanya diberi sanksi
ringan untuk suatu pelanggaran-pelanggaran HAM termasuk penyiksaan atau
penganiayaan, penggunaan kekuatan berlebihan dan tidak perlu, dan pembunuhan di
luar hukum.
Amnesty International
terus mendesak akuntabilitas bagi kasus-kasus pembunuhan di masa lalu oleh pasukan
keamanan. Tidak ada satupun yang
dimintai pertanggungjawaban terhadap pembunuhan tiga orang di Kongres Rakyat
Papua Ketiga (Oktober 2011), satu orang di aksi mogok kerja pekerja tambang di
Timika (Oktober 2011), tiga orang pada pertemuan keagamaan di Sorong (Mei 2013)
atau pembunuhan aktivis politik Mako Tabuni (Juni 2013).
Minimnya akuntabilitas
diperburuk oleh kegagalan untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer (No. 31/1997).
Personel militer yang dituduh melakukan pelanggaran HAM saat ini diadili dalam
suatu pengadilan militer. Amnesty International telah menyatakan
keprihatinannya atas minimnya independensi dan imparsialitas dari
persidangan-persidangan dalam sistem ini.
Amnesty International
menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janji-janji kampanyenya dan untuk merevisi Undang-Undang
Peradilan Militer sehingga personel militer yang diduga melakukan pelanggaran
HAM bisa diinvestigasi dan diadili dalam suatu sistem pemidanaan sipil yang independen, dan para korban dan saksi
diberikan perlindungan yang memadai.
Paniai berdarah tanggal 8 Desember 2014 sudah dilaporkan kepada PBB lewat media sosial/eham net, LLC pada hari itu Juga dan jadi
BalasHapusdasar pernyataan amnesti internasional tanggal 10 Desember 2014.