Selasa, 30 Desember 2014

Benny Wenda: Militer dan Polisi Indonesia melakukan penyiksaan dan membunuh anak-anak di Paniai, Papua Barat

Lima pemuda Papua Barat, usia 17-18, dibantai oleh militer dan polisi Indonesia, yang  mana menembak ke kerumunan demonstran. Mereka memprotes insiden malam sebelumnya, ketika anak-anak muda dipukuli Desember dan 12 tahun disiksa untuk mengeluh bahwa kendaraan militer sedang didorong dengan lampu off.
Lima pemuda Papua Barat, usia 17-18, dibantai oleh militer dan polisi Indonesia, yang menembak ke kerumunan demonstran. Mereka memprotes insiden malam sebelumnya, ketika anak-anak muda dipukuli Desember dan 12 tahun disiksa untuk mengeluh bahwa kendaraan militer sedang didorong dengan lampu off.
Hatiku penuh dengan kesedihan dan kesedihan ketika sedikitnya lima orang saya secara brutal dibantai oleh militer dan polisi Indonesia di Papua Barat pada 8 Desember, hanya untuk memprotes kekerasan militer terhadap anak. Menyiksa dan membunuh anak-anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mereka yang bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan.
Alpius Youw, Alpius Gobai, saday Yeimo, Simon Degei dan Yulian Yeimo semua anak laki-laki berusia antara 17 dan 18 dan semua ditembak mati oleh militer Indonesia kemarin di Paniai. Tragedi mengerikan ini terjadi ketika militer dan polisi Indonesia tanpa ampun melepaskan tembakan pada kerumunan orang, sebagian besar pemuda dan anak-anak yang berdemonstrasi menentang penyiksaan lain anak 12 tahun oleh tentara Indonesia.
Sama sekali tidak ada alasan untuk pembantaian berdarah dingin antara lima dan 12 anak laki-laki yang tidak bersalah dan saya ingin mengatakan bahwa saya sepenuhnya mengutuk kekejaman HAM jahat ini. Bagaimana bisa pemerintah Indonesia pernah membela posisinya di Papua Barat sementara itu terus pembantaian umat-Ku, bahkan anak-anak, hanya untuk berbicara menentang kebrutalan militer?
Sama sekali tidak ada alasan untuk pembantaian berdarah dingin antara lima dan 12 anak laki-laki yang tidak bersalah dan saya ingin mengatakan bahwa saya sepenuhnya mengutuk kekejaman HAM jahat ini.
Acara-acara seperti hari ini mengerikan pertumpahan darah di Paniai mengungkapkan kepada dunia apa pemerintah Indonesia adalah untuk hari ini lakukan di Papua Barat. Baru-baru ini saya diwawancarai oleh BBC Indonesia dan saya menyatakan bahwa saya tidak percaya presiden Indonesia yang baru Joko Widodo (Jokowi) dan tidak percaya bahwa ia akan membawa perubahan positif bagi orang-orang saya.
Pembantaian keji ini terhadap pemuda Papua yang mengekspos kebohongan Jokowi kepada dunia dan merupakan bukti bahwa ia terus membunuh generasi berikutnya umat-Ku seperti mantan presiden Indonesia telah dilakukan, tanpa memperhatikan apapun terhadap hak asasi manusia kami.
Dengan begitu banyak bukti yang keluar dari Papua Barat setiap hari, dunia tidak bisa tetap buta terhadap penderitaan umat-Ku sementara negara saya berada di bawah pendudukan ilegal dan orang-orang saya, termasuk anak-anak, sedang kejam dibantai oleh tentara Indonesia. Kami tidak akan diam.
Saya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengutuk tindakan teror yang ekstrim terhadap orang-orang saya yang hanya memprotes kebrutalan militer. Silakan melihat realitas apa yang sebenarnya terjadi kepada orang-orang saya. Pria, wanita, anak-anak - kita semua dibunuh seperti lalat di negara kita sendiri dengan tentara penjajah Indonesia.
Saya meminta semua pendukung dan teman-teman termasuk organisasi hak asasi manusia, LSM dan kelompok-kelompok gereja juga sepenuhnya mengutuk pembantaian ini anak laki-laki dan anak-anak di Paniai. Silakan berbagi dan mempublikasikan secara luas kekejaman ini sehingga dapat meningkatkan kesadaran seluruh dunia tentang genosida di Papua Barat.
Saya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengutuk tindakan teror yang ekstrim terhadap orang-orang saya yang hanya memprotes kebrutalan militer.
Tolong bantu melobi politisi untuk mendukung orang-orang saya di melanggar bebas dari pendudukan militer Indonesia dengan mendukung kami dalam perjuangan kami untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan. Anda dapat mengirim surat ini untuk perwakilan politik dan meminta mereka untuk mendukung kebebasan media dan penentuan nasib sendiri di Papua Barat. Orang saya membutuhkan suara untuk melaporkan realitas genosida ini kita sedang menghadapi setiap hari.
Benny Wenda memimpin protes di London. Wenda adalah pemimpin kemerdekaan Papua Barat dan pelobi internasional yang tinggal di pengasingan di Inggris, di mana ia ia diberikan suaka politik pada tahun 2003 oleh Pemerintah Inggris setelah melarikan diri dari tahanan saat sidang di Papua Barat.
Benny Wenda memimpin protes di London. Wenda adalah pemimpin kemerdekaan Papua Barat dan pelobi internasional yang tinggal di pengasingan di Inggris, di mana ia ia diberikan suaka politik pada tahun 2003 oleh Pemerintah Inggris setelah melarikan diri dari tahanan saat sidang di Papua Barat.
Atas nama Kampanye Papua Merdeka Barat, saya memberikan belasungkawa penuh dan terdalam untuk keluarga semua orang kejam dibunuh dalam pembantaian Paniai. Mereka cintai, pemuda dan anak-anak mereka mati memprotes untuk semua hak-hak kami, sehingga kebebasan dan keadilan akan suatu hari datang ke rakyat kita secara keseluruhan.
Para korban hari ini mengerikan akan dikenang dalam sejarah Papua Barat selamanya bersama dengan ratusan ribu lainnya dari tidak bersalah Papua yang tewas dalam perjuangan kemerdekaan kita. Semoga mereka beristirahat dalam damai.
Setelah baru saja kembali dari Vanuatu, di mana saya telah menghadiri konferensi reunifikasi bagi semua pemimpin kemerdekaan Papua Barat, saya memiliki harapan besar untuk perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Tapi pembantaian seperti ini menyebabkan rasa sakit besar untuk semua orang Papua, menunjukkan kepada kita urgensi pencarian rakyat kita untuk pembebasan dari kekerasan dan pendudukan ilegal.
Hal ini untuk alasan ini bahwa saya menulis kata-kata ini sebagai teriakan minta tolong. Silakan lihat penderitaan umat-Ku dan mengambil tindakan untuk membantu kami. Kami sangat membutuhkan dukungan internasional untuk membantu kami menemukan kedamaian sejati dan kebebasan di negeri kita sendiri.
Mohon dukungan umat-Ku dalam perjuangan damai melawan kengerian ini kolonialisme dan genosida. Kami ingin hak kami dikembalikan dan keadilan kita diberikan. Kami ingin Papua Barat gratis.

Benny Wenda, pendiri Free West Papua Campaign dan juru bicara Persatuan Gerakan Pembebasan West Papua ( ULMWP)

Senin, 22 Desember 2014

Penembakan di Paniai: Partai Hijau Minta Selandia Baru Putuskan Hubungan Militer


Catherine Delahunty dari Partai Hijau meminta negaranya, Selandia Baru, untuk memutuskan hubungan militer dengan Indonesia.
"Kami benar-benar meminta pemerintah Selandia Baru untuk menekan Widodo. Waktunya telah tiba bagi semua orang untuk menyadari, ini sebenarnya adalah Sharpeville isu Papua Barat Ketika anak-anak ditembak, ketika siswa  ditembak -seperti apa yang terjadi di Afrika Selatan," jelas Delahunty dilansir Radio New Zealand (RNZ), 17 Desember 2014.
Delahunty juga menghimbau semua pihak di negara Selandia Baru untuk menyadari bahwa Indonesia harus diperingatkan dari tindakan brutal mereka.
"Orang-orang harus menyadari bahwa mereka (Indonesia) tidak bisa terus membunuh dengan impunitas dan Selandia Baru harus menantang pemerintah Indonesia untuk mengubah cara mereka," ujar Delahunty melanjutkan.
Sementara Menteri luar negeri Selandia Baru, Murray McCully, mengatakan, pemerintah Indonesia harus mengusut tuntas penembakan di Paniai yang menewaskan 5 warga sipil dan 17 lainnya kritis

Sabtu, 20 Desember 2014

Forkorus Tolak Berdirinya ULMWP

Juga Kesal dan Kecewa Sikap Beberapa Pejabat NFRPB
 
Forkorus Yoboisembut, S.Pd.,  yang disebut-sebut sebagai ‘Presiden Negara Federal Republik Papua Barat’ (NFRPB) merasa kecewa dan kesal terhadap beberapa orang pejabat NFRPB yang ikut memberikan persetujuan terhadap pembentukan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kekecewaan dan kekesalan itu terasa setelah menerima laporan tentang hasil akhir dari Simposium Papua Barat yang diselenggarakan di Port Villa, Vanuatu mulai dari tanggal 1 s/d 5 Desember 2014 lalu.

Demikian ditegaskan Presiden NFRPB, Forkorus Yoboisembut dalam releasenya saat menyambangi Redaksi Harian Bintang Papua, di Kotaraja Luar, Jumat (19/12) kemarin malam. “Jadi, setelah saya menerima laporan dari berbagai sumber dan juga dalam rangka mempertahankan Deklarasi Bangsa Papua di Negeri Papua Barat (19 Oktober 2011) yang merupakan dasar hukum berdirinya NFRPB, maka saya selaku Presiden NFRPB menganggap ULMWP secara demokratis tingkat representasinya sangat rendah, dibandingkan hasil Kongres III Rakyat Bangsa Papua Barat pada 17 s/d 19 Oktober 2011 lalu,” ucapnya.

Forkorus menyampaikan, bahwa pihaknya merasa menyesal dan sedih terhadap cara pandang para pemimpin komponen perjuangan kemerdekaan Papua Barat yang irasional atau tidak logis, sehingga menyamakan posisi organisasi-organisasi taktik sama level dengan sebuah negara.

“Jadi, saya kecewa dan menyesal terhadap beberapa orang pejabat NFRPB yang ikut memberikan persetujuan terhadap pembentukan ULMWP. Dan, adanya hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mempertahankan Deklarasi Bangsa Papua Barat di Negeri Papua Barat serta 19 Oktober 2011 sebagai dasar hukum berdirinya NFRPB secara konsisten dan konsekuen,” sesalnya.

“Saya selaku Presiden dengan tegas NFPRB menolak untuk bergabung dalam organisasi yang dinamai ULMWP tersebut, karena kami dalam hal ini NFRPB tetap bertahan dan juga melaksanakan agenda-agenda luar negeri maupun domestic, sebagaimana layaknya sebuah negara di dunia, dimana kami juga sudah sangat siap untuk melakukan aplikasi sebagai sebuah negara calon anggota baru dalam MSG dan ke PIF pada tahun 2015 mendatang,” tegasnya.

Selain itu, Forkorus kembali menegaskan bahwa Markus Haluk diberhentikan dari jabatannya Sekretaris NFRPB (surat keputusan menyusul) yang tidak berhak berbicara dan bertindak atas nama NFRPB.

“Saya minta Jacob Rumbiak selaku Menteri Luar Negeri untuk mengundurkan diri dari anggota ULMWP dan juga meminta kepada Edison G. Waromi selaku Perdana Menteri untuk mengundurkan dirinya dalam keanggota ULMWP tersebut. Jadi, biarkanlah NFRPB dan ULMWP berjalan secara terpisah dan hanya bekerjasama dalam tingkat koordinasi saja, jika bertujuan sama pasti akan bertemu pada persimpangan jalan serta akan berjalan bersama-sama nantinya,” tukasnya.


Sabtu, 13 Desember 2014

Pernyataan Publik Amnesty Internasional tentang aksi brutal TNI/Polisi terhadap masyarakat Papua di Paniai

Index: ASA 21/032/2014
10 Desember 2014

Indonesia: Investigasi penggunaan kekuatan berlebih dari  pasukan keamanan terhadap orang-orang Papua di Paniai

Amnesty International sangat prihatin akan laporan-laporan yang menyatakan bahwa pasukan keamanan Indonesia melakukan penembakan dan menewaskan paling tidak lima orang, semuanya adalah pelajar, di Paniai, provinsi Papua. Pemerintahan yang baru harus mengakhiri iklim impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Amnesty International menyerukan sebuah investigasi terhadap tindak pembunuhan tersebut. 

Empat orang tewas dan lebih dari lusinan orang terluka ketika pasukan keamanan, baik polisi maupun militer, diduga melakukan penembakan pada pagi hari 8 Desember pada sebuah kerumunan orang yang sedang melakukan protes di lapangan Karel Gobai yang berlokasi dekat dengan Koramil Paniai. Orang  kelima tewas dari luka peluru beberapa jam setelahnya di sebuah rumah sakit. Kerumunan orang tersebut dilaporkan berkumpul untuk memprotes sejumlah serdadu dari Tim Khusus Bataliyon 753, yangdituduh telah memukul seorang anak kecil dari kampung Ipakije malam sebelumnya, yang kemudian dibawa ke rumah sakit. Sebelum penembakan tersebut, para pengunjuk rasa dilaporkan menghancurkan kendaraan yang ditumpangi para serdadu tersebut semalam sebelumnya.

Amnesty International menyerukan sebuah investigasi yang cepat, independen dan imparsial terhadap pembunuhan tersebut dan penggunaan kekuatan berlebihan yang terlihat digunakan oleh pasukan keamanan Indonesia. Temuan-temuan dari investigasi tersebut harus dipublikasikan dan mereka yang bertanggung jawab, termasuk orang-orang yang memegang tanggung jawab komando, harus diadili di  pengadilan sipil yang prosesnya harus sesuai dengan standar-standar peradilan adil (fair trial) internasional, tanpa penggunaan hukuman mati. Para korban dan keluarganya harus disediakan reparasi.

Meski Amnesty International mengakui hambatan-hambatan terkait dengan pemolisian menghadapi kumpulan massa, pasukan keamanan Indonesia hanya boleh menggunakan kekuatan kekerasan setelah upaya-upaya non-kekerasan terbukti tidak efektif dan dan dengan kepatuhan yang ketat terhadap prinsip-prinsip keharusan dan proporsionalitas.

Negara-negara memiliki tugas kewajiban untuk menghormati hak atas hidup, yang tertera dalam hukum dan standar-standar HAM internasional yang relevan. Pasal 6 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Indonesia adalah Negara Pihaknya, menyediakan hak bagi setiap orang untuk bebas dari perampasan hidup secara sewenang-wenang, yang yang artinya terdapat batas-batas tertentu terhadap penggunaan kekuatan. Ketentuan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Pelapor Khusus PBB mengenai Penghukuman di Luar Hukum (UN Special Rapporteur on Extrajudicial Executions), mewajibkan Negara-negara untuk melakukan investigasi yang memadai ketika ada alasan yang bisa dipercaya bahwa suatu perampasan hidup secara sewenang-wenang telah terjadi. Hak atas hidup juga tercantum di dalam Konstitusi Indonesia.

Pasukan keamanan Indonesia harus mendapat pelatihan yang cukup dan perlengkapan yang memadai untuk menjalankan metode-metode non-kekerasan dalam pengendalian massa. Aparat penegak hukum dan pasukan keamanan harus menggunakan kekuatan dengan cara-cara non-mematikan yang harus dimiliki mereka untuk membubarkan protes jika diperlukan, sesuai dengan standar-standar HAM internasional.

Amnesty International percaya iklim impunitas memperburuk situasi HAM. Sudah terlalu sering para anggota aparat keamanan di Papua tidak menghadapi proses hukum atau hanya diberi sanksi ringan untuk suatu pelanggaran-pelanggaran HAM termasuk penyiksaan atau penganiayaan, penggunaan kekuatan berlebihan dan tidak perlu, dan pembunuhan di luar hukum.

Amnesty International terus mendesak akuntabilitas bagi kasus-kasus pembunuhan di masa lalu oleh pasukan keamanan.  Tidak ada satupun yang dimintai pertanggungjawaban terhadap pembunuhan tiga orang di Kongres Rakyat Papua Ketiga (Oktober 2011), satu orang di aksi mogok kerja pekerja tambang di Timika (Oktober 2011), tiga orang pada pertemuan keagamaan di Sorong (Mei 2013) atau pembunuhan aktivis politik Mako Tabuni (Juni 2013).
Minimnya akuntabilitas diperburuk oleh kegagalan untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer (No. 31/1997). Personel militer yang dituduh melakukan pelanggaran HAM saat ini diadili dalam suatu pengadilan militer. Amnesty International telah menyatakan keprihatinannya atas minimnya independensi dan imparsialitas dari persidangan-persidangan dalam sistem ini.

Amnesty International menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janji-janji  kampanyenya dan untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer sehingga personel militer yang diduga melakukan pelanggaran HAM bisa diinvestigasi dan diadili dalam suatu sistem pemidanaan sipil  yang independen, dan para korban dan saksi diberikan perlindungan yang memadai.

Jumat, 12 Desember 2014

ULMWP: Jokowi Pakai Pendekatan Militer Hadapi Konflik Papua

ULMWP: Jokowi Pakai Pendekatan Militer Hadapi Konflik Papua

Anggota Unitied Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau  Persatuan Gerakan Kebebasan West Papua , JacobRumbiak menilai Jokowi menggunakan pendekatan militer untuk menangani persoalan Papua, sama seperti yang diterapkan Presiden Soeharto di zaman Orde Baru.
Seperti dilansir dari merdeka.com, Rumbiak juga mengatakan usia pemerintahan Joko Widodo belum genap dua bulan, namun darah kembali membasahi Papua Barat, setelah lima orang tewas dibunuh oleh TNI/Polri di Kabupaten Paniai, Papua Barat. 
"Jokowi bukan saja membohongi Papua tapi juga menipu Sang Pencipta yang memberikan beliau suara, karena Suara rakyat adalah suara kebenaran dan suara kebenaran adalah suara Allah," kata Rumbiak.

Rumbiak mengatakan, bahwa pihaknya sangat kecewa dengan penembakan yang terjadi di Paniai, TNI/Polri bukan mengamankan tetapi membunuh orang Papua. Mereka mereka yang ditembak kebanyakan anak usia SMA, negara sudah melakukan pelanggaran HAM berat. 
“Saya sangat kecewa dengan insiden ini, TNI/Polri adalah aktor pembunuh orang Papua. Kasus Paniai adalah salah satu bukti TNI/Polri adalah pembunuh orang Papua,” ungkap Rumbiak 
"TNI/Polri di Papua hingga sampai saat ini adalah aktor dari konflik Papua yang sampai saat ini tidak kunjung usai. Orang Papua bukan bangsa yang terus dibohonhi terus-menerus, rakyat Papua hanya ingin masalah Papua diselesaikan di tingkat Internasional yaitu PBB," tegasnya
Rumbiak juga menambahkan, bahwa Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla yang mampu menyelesaikan konflik Aceh tetapi untuk Keputusan Papua dimasukkan ke dalam Indonesia itu adalah masalah Internasional. 
"Jusuf Kalla tidak mungkin menyelesaikan konflik Papua kecuali konflik Papua diselesaikan di Internasiolan dan PBB," kata salah satu dplomat Papua Merdeka ini. 
Terkait insiden di Paniai, sejumlah pimpinan gereja di tanah Papua dengan tegas menolak kehadiran Presiden Joko Widodo yang akan merayakan natal dengan menghamburkan puluhan milyar.
“Rakyat Papua sedang berduka karena pembantaain di Paniai, sedangkan Jokowi ingin merayakan natal di Jayapura dengan habiskan dana puluhan miliar, damai apa yang Jokowi mau bawah, kami dengan tegas menolak kedatangan Jokowi di Papua,” kata Giay.

Giay mengatakan, saat Jokowi akan datang ke Papua, penculikan, pembunuhan dan pembantaian orang asli Papua masih terus terjadi, karena itu tidak ada artinya Presiden Indonesia merayakan natal di tanah Papua. 

 “Jokowi sama saja dengan presiden-presiden terdahulu, datang satu hari natal, tapi kekerasan jalan terus, yang kami minta Jokowi buat kebijakan yang benar-benar menyentuh hati orang Papua,” kata Giay.

Pemerintah Selandia Baru Kutuk Aksi Brutal TNI/Polri di Paniai


Perdana Menteri Selandia Bru, John Key, mengutuk aksi brutal aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Kabupaten Paniai, Papua, yang menewaskan lima warga sipil, dan menyebabkan puluhan orang luka-luka berat.
Dilansir dari situs pacific.scoop.co.nz, Key  juga menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia atas pembunuhan yang terjadi di Paniai, dan sejumlah wilayah di Papua Barat 
“Ini kejadian yang tidak manusiawi, kami mengutuk dan meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia," kata Key, di Green Party, hari ini
(12/12/2014).
Key mengatakan, dirinya telah mendapatkan laporan bahwa lima orang tewas dan puluhan luka-luka, ketika TNI/Polisi Indonesia menembaki masyarakat di Paniai.

"Perdana Menteri Selandia Baru sangat mengutuk pembunuhan yang tidak manusiawi ini," tambah juru bicara John Key dari Green Party, Catherine Delahunty. 
Menurut Catherine, pemerintah Selandia Baru selama ini memberikan dana dan melatih TNI/Polri Indonesia, tetapi yang terjadi malah militer Indonesia terus membunuh orang Papua.

"Pemerintah juga telah menjalin hubungan dengan Indonesia, meskipun perlakuan TNI/Polri sangat tidak manusiawi. Kami sangat menyesali akan hal itu," ujarnya.

"Pemerintah telah terus membina hubungan dengan Indonesia meskipun Pelanggaran HAM di Papua sangat mengerikan, hal ini perlu diberhentikan," tambahnya.

Key juga mengatakan, masalah inI harus dituntaskan secara hukum, karena telah melanggar hak asasi warga Papua, secara khusus penduduk Paniai.

"Kami kira masalah ini perlu dibicarakan di tingkat Internasional dan PBB," tambahnya.



Rabu, 10 Desember 2014

Sejumlah anggota Parlemen Belanda mengajukan pertayaan kepada Menlu Belanda tentang peristiwa penembakan di Paniai, West Papua

Pertanyaan tertulis tentang peristiwa Paniai  Anggota Parlemen  Belanda Van der Staaij (SGP Partai), Voordewind (CU Partai), Knops (CDA Partai), Ten Broeke (VVD Party), Van Bommel (SP Party), Servaes (PvdA Partai) dan De roon (PVV partai) kepada Menteri Luar Negeri Koenders Belanda mengungkapkan keprihatinan mereka dalam hal penembakan lima warga Papua oleh kepolisian Indonesia.
Berikut ini adalah sejumlah pertanyaan yang ditulis dan di tujukan kepada Menlu Belanda
1. Apakah anda mendengar pesan bahwa setidaknya lima orang Papua telah ditembak dan dibunuh oleh polisi Indonesia atau militer ketika mereka melepaskan tembakan ke kerumunan protes warga sipil?
2. Dapatkah anda menginformasikan kepada kami tentang fakta-fakta mengenai hal ini? Bagaimana anda menilai tindakan kekerasan ini?
3. Apakah anda bersedia untuk meminta penjelasan dengan rekan anda tentang Indonesia ini tindakan yang sangat berdarah dengan polisi dan militer?
4. Dapatkah anda memberikan indikasi mengenai tren saat ini sejauh hubungan antara pemerintah Indonesia dan Papua prihatin? Apakah anda melihat kemajuan?
5. Selama yang memiliki kesempatan anda baru saja dibahas hubungan sensitif dengan rekan Indonesia dan apa hasil dari ini?

6. Apakah anda melihat kemungkinan-kemungkinan baru untuk Belanda dalam rangka memperbaiki situasi masyarakat Papua dan yang saluran multilateral menurut anda berguna untuk tujuan ini?

Hari HAM, PBB Soroti Indonesia dan Thailand

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan standar umum keberhasilan kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua negara. Hal ini berkaitan dengan peringatan hari HAM internasional yang diperingati setiap tanggal 10 Desember. 
"Slogan hari HAM tahun ini adalah HAM 365, bahwa setiap hari adalah hak asasi," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville, dilansir dari laman resmiwww.ohchr.org, Rabu, 10 Desember 2014.
Deklarasi itu juga sebagai konvensi menentang penyiksaan dan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang kian marak. Salah satu negara yang menjadi sorotan PBB adalah Indonesia dan Thailand. 
Kemarin, ujar rilis PBB itu, lima remaja di dataran tinggi Paniai, Papua, dibunuh. Kabarnya, sejumlah pemuda berkumpul di kantor polisi Kota Enarotali untuk memprotes pemukulan oleh pasukan keamanan terhadap anak lelaki, Pada malam. Polisi melepaskan tembakan dan lima remaja tewas. Beberapa lainnya luka-luka. 
PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi investigasi secara independen yang menyeluruh atas kasus tersebut. "Kami akan terus terlibat dengan pemerintah baru Indonesia tentang masalah ini," ujar Colville. 
Di Thailand, dua aktivis HAM dibunuh karena menantang legalitas proyek-proyek swasta. Aktivis HAM di Thailand, khususnya di wilayah Selatan, telah lama menjadi korban intimidasi, pelecehan seksual, dan kekerasan.
Di antara aktivis HAM yang jadi korban adalah Pitan Thongpanang. Ia kerap menentang operasi pertambangan di distrik Nonpitam. Ia ditembak sembilan kali di Provinsi Nakhon Sri Thammarat pada 30 November lalu. Penembakan terjadi saat ia mennggalang dana di beberapa desa untuk memperoleh bantuan hukum dalam kasus ini.
Empat hari kemudian, pada 3 Desember, Sumsuk Kokrang ditembak di perkebunan kelapa sawit di Provinsi Krabi, Thailand. Sumsuk seorang aktivis hak tanah, pemimpin kampanye penyelidikan legalitas perkebunan kelapa sawit. Setidaknya, ada 30 aktivis HAM dibunuh dan dihilangkan di Thailand sejak tahun 2001.
"Kami mendesak pihak yang berwenang untuk melakukan investigasi menyeluruh, cepat dan mandiri dalam semua kasus penghilangan dan pembunuhan pembela hak asasi manusia," ujar Colville. 

PBB juga akan meminta pemerintah Thailand untuk menerapkan langkah-langkah perlindungan bagi aktivis, terutama yang memperjuangkan hak tanah. Sebab, masyarakat yang terkena dampak proyek menggantungkan nasibnya kepada aktivis tersebut.

Selasa, 09 Desember 2014

Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat sekarang akan memimpin

Tiga kelompok pembebasan utama Papua Barat telah membentuk front persatuan setelah pembicaraan di Vanuatu dan akan mengajukan permohonan keanggotaan MSG.

Upaya terpadu untuk Papua Barat untuk memiliki satu suara di arena internasional, dimulai dengan aplikasi status keanggotaan dalam MSG pada tahun 2015.
Para pemimpin Republik Federal Papua Barat, Parlemen Nasional Papua Barat dan Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat  menandatangani perjanjian atas nama kelompok-kelompok pro-kemerdekaan afiliasi dan non-Terafiliasi lainnya pada 6 Desember untuk membentuk ULMWP.
Setiap kelompok akan mempertahankan status independen dalam Papua Barat namun anggotanya sekarang akan bekerja sama dengan tujuan yang sama penentuan nasib sendiri.
Perjanjian tersebut dimungkinkan melalui upaya pemerintah Vanuatu, kepalanya, gereja-gereja dan pemimpin kelompok Kanaky (New Caledonian).
Pembicaraan difasilitasi oleh Konferensi Pasifik Gereja-Gereja di Port Vila meskipun upaya oleh Indonesia untuk menghentikan pertemuan.
Sekretariat kelompok bersatu adalah Benny Wenda dari PNWP dan KNPB, Jacob Rumbiak dan Octavanus Mote dari NFRPB, Leonie Tanggahma dan Rex Rumakiek dari WPNCL.
Mote telah ditunjuk Sekretaris Jenderal.
Anggota koalisi baru mengakui peran masing-masing kelompok yang dimainkan dalam perjuangan pembebasan.
Sekretaris Konferensi Geraja Pasifik Jenderal, Pendeta Francois Pihaatae, mengatakan suara internasional bersatu tidak berusaha untuk menggabungkan organisasi komponen menjadi satu kesatuan.
"Kami mengakui peran integral yang masing-masing memainkan bahkan berbagai pemimpin berusaha untuk membangun kerjasama di antara mereka sendiri." Kata Rev Pihaatae.
"MSG ingin suara terpadu dari Papua Barat sebelum mempertimbangkan aplikasi mereka untuk keanggotaan dan kesatuan yang telah dicapai.

"Kami menyerukan kepada pemerintah negara anggota MSG untuk mendengarkan kehendak rakyat Papua Barat dan mengakui usaha mereka dan memberikan pertimbangan karena aplikasi mereka ketika itu dibuat di tahun baru."

Buchtar Tabuni : PNWP mendukung pemerintah Vanuatu memutuskan hubungan diplomatic dengan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia mengancaman  pemerintah Vanuatu karena pemerintah Vanuatu telah mendukung dan memfasilitasi sebuah pertemuan tingkat tinggi untuk mempersatukan kelompok-kelompok gerakan Papua Barat merdeka di Vanuatu awal bulan ini ( Desember 2014).
Menanggapi ancaman pemerintah Indonesia ini, maka pemerintah Vanuatu menyatakan tidak takut pada ancaman pemerintah Indonesia itu dan berkomitmen untuk terus mendukung perjuagan  hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua. 
Saat ini pemerintah Vanuatu telah berhasil mempersatukan kelompok-kelompok gerakan kemerdekaan Papua Barat dalam suatu wadah politik. Bahkan pada saat deklarasi wadah persatuan West Papua itu Joe Natuman Perdana Menteri Vanuatu itu mengatakan jika ancaman pemerintah Indonesia itu serius, maka pemerintah Vanuatu akan memutuskan hubungan diplomatic dengan pemerintah Indonesia, bahkan Perdana Menteri Vanuatu itu dengan berani mengatakan akan memutuskan perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan perdana menteri Vanuatu terdahulu. Sikap ini ambil pemerintah Vanuatu karena seluruh rakyat Vanuatu, Parlemen  mendukung perjuangan Hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua.
Menanggapi sikap pemerintah Indonesia kepada pemerintah Vanuatu ini, maka Buchtar Tabuni Ketua Parlemen Rakyat West Papua disela kunjungannya ke Vanuatu  angkat bicara.
Buchtar Tabuni mengatakan atas nama rakyat West Papua yang selama 50 tahun lebih  memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri menyatakan mendukung sikap pemerintah Vanuatu untuk memutuskan hubungan diplomatic dengan pemerintah Indonesia, sehingga persoalan West Papua ini lebih serius lagi untuk dibicarakan di forum-forum PBB.
Buchtar Tabuni lanjut mengatakan rakyat West Papua telah siap untuk mendukung sikap pemerintah Vanuatu ini dengan langkah siap mobilisasi rakyat West Papua untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri secara adil dan bermartabat.


Sekertaris Jendral ULMWP, Hari ini Mengunjungi Auckland


Sekertaris Jendral United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octovianus Mote akan mengunjungi Auckland pada hari HAM sedunia.
Dilansir dari pacific.scoop.co.nz, Mote adalah pemimpin Papua Barat yang tinggal di daerah pengasingan. Dia baru saja terpilih Sekretaris Jenderal dalam organ pergerakan Papua Merdeka yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Mote mengunjungi Auckland setelah berpartisipasi dalam pertemuan bersejarah yang diadakan di Vanuatu pekan lalu. Pada pertemuan ini para pemimpin kelompok dan organisasi masa Papua Merdeka dari berbagai golongan menandatangani deklarasi bersama dan menyepakati perjuangan untuk perlawanan Papua Barat.

Para pemimpin yang terpilih akan mengarahkan diplomasi ke dunia Internasional untuk bergerak pada tahapan di MSG.

Mote juga telah terlibat dalam berbagai kegiatan di internasional beberapa waktu lalu. Dia juga termasuk bagian dari Tim Negosiasi Papua Tanah Damai yang dibentuk pada Kongres Rakyat Papua yang  diselenggarakan di Jayapura, Papua Barat, pada Juli 2011.

Mote bertempat tinggal di Amerika Serikat dan merupakan Senior HAM Fellow di Yale Law School. Dia adalah mantan Kepala Biro Papua di Kompas, surat kabar harian terbesar di Indonesia.

Setelah pertemuan 100 Pemimpin Papua (Tim 100) bersama Presiden Indonesia, BJ Habibie pada tahun 1999 dilakukan, Mote terpaksa meninggalkan Papua karena diancaman untuk dibunuh dari Militer Indonesia.


Mote akan menghadiri wawancara langsung di Kota Auckland  pada 10 Desember dan akan membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Papua.

Senin, 08 Desember 2014

Warinussy: Persatuan Pemimpin Politik Papua di Vanuatu Langkah Maju


Bersatunya pemimpin faksi-faksi perjuangan politik Papua di Saralana, Port VIlla, Vanuatu, merupakan sebuah langkah maju dalam proses hukum persoalan politik di Tanah Papua menurut mekanisme hukum dan juga politik yang dianut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dewasa ini.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajiaan, Pelaporan, dan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua, dalam siaran pers yang dikirim kepada redaksi suarapapua.com, Senin (8/12/2014) siang.

Warinussy juga menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Dr.Rex Rumakiek dari West Papua National Liberation for Coalition (WPNCL), Edison Waromi dari Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB), dan Buchtar Tabuni dari Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP) yang telah ikut hadir dan mendatangani deklarasi tersebut.

Dimana, kata Warinussy, ketiga pemimpin tersebut sudah mewakili faksi-faksinya yang selama ini berjuang sendiri-sendiri di dalam dan di luar Tanah Papua, dan kini sudah bersatu melalui penandatanganan deklarasi Saralana, dan melahirkan badan politik nasional yang bernamaUnited Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat.

“ULMWP dalam operasionalisasinya sehari-hari akan dipimpin oleh Octovoanus Mote selaku Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh Benny Wenda selaku Juru Bicara, serta anggota-anggota yang terdiri dari Jacob Rumbiak, Rex Rumakiek dan Leoni Tanggahma.”

Warinussy menghimbau agar para Pemimpin organisasi perjuangan politik rakyat di Tanah Papua maupun di luar negeri untuk mendukung penuh ULMWP di bawah kepemimpinan Mote untuk menjalankan mandat politik, guna mendorong verifikasi dan penyusunan aplikasi keMelanesian Spearhead Group, juga mengajukan status dalam Komisi Dekolonisasi di bawah Majelis Umum PBB.

“Saya secara pribadi menilai bawah penempatan saudara Mote sebagai Sekjen ULMWP adalah sebuah pilihan yang tepat atas dasar latar belakangnya sebagai mantan jurnalis dan peneliti di Surat Kabar Harian Kompas.”

“Demikian pula terpilihnya saudara Benny Wenda selaku Juru Bicara adalah sebuah pilihan yang sangat proporsional, sebab sesuai perannya yang selama ini sudah dimainkan di fora internasional dalam memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri bagi masyarakat Papuu,” kata pengacara senior ini.

Ditambah lagi dengan terpilihnya diplomat senior DR. Rex Rumakiek selaku salah satu anggota ULMWP, bersama Jacob Rumbiak dan Leoni Tanggahma, kata Warinussy, justru makin memperkuat upaya mendorong diplomasi ke arah penyelesaian damai atas persoalan tuntutan penentuan nasib sendiri dari mayarakat  di Tanah Papua selama ini.

“Kiranya semua faksi perjuangan, termasuk TPN PB menghormati kesepakatan yang tertuang di dalam Deklarasi Saralana, dan menjadi tugas ULMWP untuk membangun komunikasi intensif dengan semua faksi dan mendesiminasikan kesepakatan tersebut kepada seluruh lapisan rakyat di Tanah Papua maupun di fora internasional,” tegasnya. 

“Termasuk ULMWP bertugas membangun segenap langkah diplomasi kepada berbagai pihak, serta senantiasa membangun komitmen dan hubungan yang baik dengan Pemerintah Negara Vanuatu yang telah secara aktif dan tanpa jedah terus memberi dukungan bagi perjuangan penegakan hak politik rakyat Papua sejak tahun 1980 hingga saat ini,” tutup Warinussy.

Sebelumnya, seperti ditulis berita ini, hasil simposium di Port Villa, Vanuatu, telah menetapkan sebuah badan politik baru yang dinamakan United Liberation Movement for West Papua(ULMWP


Minggu, 07 Desember 2014

Pemimpin kemerdekaan Papua Barat di Vanuatu datang bersama-sama dan meluncurkan Gerakan Serikat Pembebasan Untuk Barat ULMWP Papua

Selama 5 hari, pemimpin Papua Barat telah bertemu di Port Vila di Republik Vanuatu sebuah undangan pribadi dari Perdana Menteri. Ini adalah untuk membuat kelompok internasional bersatu yang mendorong untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan Papua Barat, terutama dalam daerah MSG.
Para pemimpin membahas kesatuan kelompok kemerdekaan Papua Barat dan pada penutupan konferensi, menandatangani pernyataan sekarang dikenal sebagai "Deklarasi Saralana".
Deklarasi ini telah mengkonfirmasi Papua keinginan untuk kebebasan dan membuat kelompok bersatu baru untuk mengejar keinginan dan hak dasar.
Persatuan Gerakan Pembebasan  Untuk Papua Barat (ULMWP) terdiri dari banyak kelompok Papua Barat dan dibuat di Vanuatu pada 6 Desember 2014. 5 pemimpin yang terpilih untuk mewakili organisasi bersatu baru dan pendiri Kampanye Papua Merdeka Barat Benny Wenda terpilih sebagai juru bicara.

Persatuan kelompok ini merupakan langkah yang sangat penting di jalan menuju Papua Barat Merdeka, dengan persatuan suara  pemimpin sekarang dapat memobilisasi orang bersama-sama internasional dengan agenda bersama sebagai salah satu kekuatan yang kuat.
Saralana Declaration on West Papua2014
(Deklarasi Saralana Port Vila Vanuatu Untuk West Papua)





Conferensi Reunifikasi Papua Barat telah melahirkan sebuah badan Nasional dengan nama United Liberation Movement For West Papua ULMWP) atau dalam bahasa Indonesia adalah Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat.
 Forum ini telah lahir setelah melakukan berdebatan yang panjang, dimana masing-masing faksi mempertahankan argumen. Sidang telah berjalan selama 6 hari, dan hal ini terjadi karena banyak faktor penghambat.
Sekalipun begitu, sidang telah berhasil. Dan semua pemimpin Papua Barat dari masing-masing Faksi mengambil langkah ini, karena hal ini yang terbaik untuk menjelamatkan agenda perjuangan Bangsa Papua Barat.
Mengapa? Karena Pemerintah Vanuatu dan Rakyat (Ni-Vanuatu) sejak dari tahun 1980 an sampai kini tetap memberikan dukungan penuh bagi Bangsa Papua Melanesia, dimana mereka mempertaruhkan harga diri Bangsa dan Rakyat (Ni-Vanuatu) bagi saudara-saudari mereka di Papua Barat.
Hal ini perlu dipahami baik oleh semua Orang Papua Barat, karena apabila pemimpin Papua Barat tidak bersatu dalam Konferensi Reunifikasi ini maka Pemerintah dan Rakyat Vanuatu bisa memberikan keraguan terhadap orang Papua.
Itu sebabnya, apapun keputusan yang telah disepakati oleh semua pemimpin Papua Barat dari berbagai faksi harus di terima dan dapat dilaksanakannya. Dan keputusan ini adalah campur tangan Tuhan, untuk menjelamatkan Bangsa Papua dari tangan penjajah Indonesia.
Konferensi tingkat tinggi Bangsa Papua ini, memilih 5 pemimpin melalui pemilihan secara demokrasi. Kemudian melakukan pemilihan Sekjen dan Juru Bicara juga dengan jalan demokrasi, yang bertujuan untuk selalu menjaga keterbukaan di antara Pemimpin Papua Barat.
Untuk diketahuinya, forum tertinggi ini telah terpilih Tuan Octovianus Motte sebagai Sekjen dan Tuan Benny Wenda Juru Bicara internasional West Papua ( di forum-forum international atau luar negeri) dan juga 3 anggota yaitu Tuan Rex Rumakik, Tuan Jacob Rumbiak dan Nyonya Leoni Tanggama.
Badan Nasional ini yang bertujuan untuk melakukan diplomasi di tingkat Internasional, termasuk akan menyusun Verifikasi Aplikasi keanggotaan MSG bagi Papua Barat dan juga termasuk tujuan jangkah panjang ke Pasific Island Forum dan De-Colonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah mendirikan badan Nasional, selanjutnya melahirkan Deklarasi Saralana (Saralana Declaration on West Papua). Deklarasi Saralana ditandatangani oleh tiga kelompok Perjuangan, yaitu WPNCL (Tuan Rex Rumakiek), NRFPB (Tuan Edison Waromi) dan PNWP (Tuan Buchtar Tabuni) dan Saksi dari Dewan Adat Ni-Vanuatuma dan juga dari Pasific Conference of Churches juga Tokoh Pendiri Kantor OPM di Vanuatu yaitu Mantan Perdana Menteri  Bapa Barack Sope yang disaksikan langsung oleh Pemerintah Vanuatu (PM Joe Natuma dan Semua MP) serta oleh Rakyat Ni-Vanuatu.
Deklarasi Saralana disertai dengan upacar Adat yang dipimpin oleh Presiden Dewan Adat Vanuatu, dimana tiga kelompok Perjuangan Papua Barat telah dapat disatukan oleh saudara-saudari Melanesia dari Ni-Vanuatuma di Port Vila Vanuatu pada tanggal 6 Desember 2014, pukul 15:30pm.
Dalam deklarasi ini, PM Vanuatu (Joe Natuma) dalam sambutannya meyatakan bahwa Pemerintah dan Rakyat Ni-Vanuatu berdiri bersama saudara dan Saudari Melanesia di Papua Barat. PM Joe juga menyatakan bahwa apabila Indonesia masih mengancam Pemerintah Vanuatu, maka Pemerintah Vanuatu akan putuskan perjanjian penandatangan dengan Indonesia. Semua mantan PM Vanuatu dan Oposisi juga selalu mendukung.

Buktinya, Mantan PM Vanuatu (Moana Kalosil Carcasses) telah menghadiri Konferensi dan mengajak Delegasi untuk jamuan makan malam di rumahnya. Moana juga telah berjanji dihadapan delegasi Papua Barat bahwa kami akan berburu (kampanye) ke tingkat Internasional, dan saya (Moana) senantiasa bersama Orang Papua. Hal ini menunjukan, bahwa Pemerintah dan Rakyat (Ni-Vanuatu) sangat menunjung tinggi nilai Demokrasi.

Sabtu, 06 Desember 2014

Seputar Kunjungan PNWP dan KNPB di Vanuatu ( bagian pertama)

Delegasi PNWP yang terdiri dari Buchtar Tabuni  Ketua PNWP dan Harry Ronsumbre Wakil Ketua PNWP serta Vicktor Yeimo Ketua KNPB  dengan mengunakan pesawat komersial Air New Guinea berangkat dari  PNG pada tanggal 5 November  2014 pukul 14.00 waktu PNG transit di Brisbang  dan tiba di Vanuatu pukul 22.00 waktu Vanuatu.  Selanjutnya delegasi PNWP dan KNPB menuju penginapan di Hotel Emelys untuk bergabung dengan peserta lainya untuk mengikuti pleno-pleno  pertemuan West Papua itu.
Hari Sabtu 6 November 2014  pertemuan singkat dengan Koordinator Diplomat OPM bersama Ketua PNWP untuk persiapan keanggotaan MSG dan proses penyelesaian masalah West Papua lewat legal hukum. Setelah itu Ketua PNWP menempatkan waktu mengunjungi lokasi pemakaman Dr. Otto Ondowame  setelah menghadiri pertemuan pemimpin Papua Merdeka di Vanuatu.
Penanda tangan atas nama seluruh dan semua penghuni di West Papua terlebih khusus PNWP (23 PRD )dan KNPB ( 28 KNPB wilayah) untuk West Papua menjadi keanggotaan penuh di forum MSG pada bulan Juni 2015 di Honiara. 
Bucthar Tabuni mengatakan terima kasih kepada seluruh rakyat West Ppaua yang mana telah memberikan kepada saya  untuk mewakili penanda tanganan momen yang sangat bersejarah ini.



Parlemen Skotlandia telah melewati mosi untuk mendukung kampanye Papua Barat

Sorang Kampeye Global Kebebasan Papua Barat  Benny Wenda, Calon Penerima Hadiah Nobel Perdamaian, memiliki setiap alasan untuk tersenyum di Port Vila  Vanuatu karena ia mengatakan ia telah menerima konfirmasi dari Kantor Kampanye Papua Barat di London bahwa Parlemen Skotlandia telah melewati mosi untuk mendukung Papua Barat kampanye untuk menentukan nasib sendiri minggu ini.

Pertemuan West Papua di Vanuatu akhirnya menyapakati organisasi payung perjuangan West Papua

United Liberation Movement for West Papua atau Persatuan Gerakan Pembebasan  untuk Papua Barat   adalah organisasi yang telah disepakati tadi malam, 03 Desember 2014 setelah pertengkaran alot bahkan sampai nyaris perkelahian terjadi di dalam persidangan yang diselenggarakan oleh Gereja di Vanuatu, dilindungi dan di-backup oleh Tentara Repubulik Vanuatu. Dalam kondisi siap-siaga di Port Vila, pertemuan dilakukan dari pagi pukul 09:00 waktu setempat sampai selesai pukul 01:00 pagi hari berikutnya, yaitu tanggal 04 Desember 2014.
Dalam wawancara dengan  salah satu peserta di Workshop ini bahwa pertemuan ini akhirnya telah menyekatati nama payung yang menyatukan perjuangan bangsa PAPUA, terutama untuk mendaftarkan diri ke MSG (Melanesia Spearhead Group).

Dijelaskan pula bahwa pertengkaran berlangsung berlarut karena masing-masing organisasi perjuangan Papua Merdeka mempertahankan posisi mereka, mengkleim diri sebagia perwakilan menyeluruh, organisasi terlama, perjuangan nyata atau negara resmi yang didirikan bangsa Papua. Setelah hampir terjadi pertengkaran fisik, maka muncul para penengah untuk menenangkan situasi dan akhirnya disepakati nama "United Liberation Movement for West Papua ".

Kamis, 04 Desember 2014

Pemerintah Indonesia berusaha menghentikan Papua Barat merayakan hari kemerdekaan mereka pada 1 Desember di Federeation Square, Melbourne.

Dari Melbourne, Australia. Pemerintah Indonesia berusaha menghentikan Papua Barat merayakan hari kemerdekaan mereka pada 1 Desember di Federeation Square, Melbourne.
Australia Perdana Menteri Tony Abbott sebelumnya mengatakan pemerintah Indonesia bahwa ia akan membantu menjaga suara Papua Barat tenang dan bahwa mereka yang mengangkat isu genosida dan penentuan nasib sendiri di Papua Barat, "tidak diterima di Australia"
Setelah acara ini diiklankan di Facebook pekan lalu, konsulat Indonesia di Melbourne segera mencari pertemuan dengan Federation Square.
Mereka mengangkat keprihatinan tentang acara Facebook, ingin itu harus diturunkan, dan kemudian ingin jaminan bendera Bintang Kejora tidak akan dinaikkan atau ditampilkan pada acara tersebut.
Hal ini dipahami Federation Square menolak karena politis, mendukung semua kelompok budaya, dan tidak dapat mencegah anggota masyarakat memakai apa pun yang mereka inginkan dan mengibarkan bendera mereka sendiri.
Aktivis Papua Barat Ronny Kareni mengatakan kepada anggota New Matilda dari masyarakat Papua Barat sering memiliki acara mereka terancam, atau berada di bawah pengawasan oleh Indonesia.
"Mereka menggunakan taktik menakut-nakuti di balik pintu tertutup untuk pergi setelah organisasi atau kelompok orang yang ingin mendukung Papua Barat," kata Kareni.

"Mereka mendekati Federation Square beberapa hari setelah mereka melihat halaman event di Facebook. Mereka berdering hari tertentu lima kali dan menekan mereka untuk pull down acara di website. "