Pemimpin Gereja, pembela Hak Asasi Manusia, akademisi dan
pengamat internasional, sejak tanggal 4 hingga 7 Mei berkumpul di Brussels,
Belgia untuk melakukan Konsultasi Internasional Papua (ICP) tahun 2015.
Pertemuan ICP ini membahas situasi HAM di Papua. Para peserta ICP juga bertemu
beberapa anggota Parlemen Eropa pada 5 Mei 2015 atas undangan dari Ana Gomes,
Anggota Parlemen Eropa. Pertemuan di Parlemen Uni Eropa ini juga dihadiri
Diplomat Indonesia untuk Uni Eropa di Brussels dan juga dari Jakarta.
“Selama kunjungannya
ke Papua pada bulan Desember 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan secara
terbuka bahwa ia berkomitmen untuk mendengarkan suara-suara dari Papua, namun
perkembangan terbaru di Papua menunjukkan realitas yang berbeda,” kata Norman
Voss, Kordinator ICP kepada Jubi, (7 / 5/2015).
Para peserta ICP,
menurut Voss prihatin dengan perkembangan terbaru di Papua yang telah ditandai
dengan peningkatan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia
terhadap penduduk asli Papua.
Di kesempatan yang
sama, Ketua Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) Pendeta Albert Yoku
menekankan, “Situasi di Papua memburuk selama enam bulan pertama sejak Joko
Widodo menjadi presiden.”
Pertemuan ICP ini
menyinggung penangkapan 264 orang Papua tanggal 1 Mei 2015 yang memperingati
ulang tahun ke-52 peralihan administrasi Papua ke Indonesia sebagai salah satu
contoh betapa buruknya situasi yang dihadapi rakyat Papua dalam pemerintahan
Joko Widodo saat ini.
“Ada laporan
penyiksaan demonstran, dengan setidaknya dua orang masih di tahanan. Dua tahun
yang lalu, pada tanggal 1 Mei 2013 setidaknya 30 orang ditangkap karena
kegiatan serupa. Respon yang sangat represif tahun ini merupakan kemerosotan
dalam situasi kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua Barat,” tambah
Pendeta Dora Balubun, Kordinator Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan
Ciptaan (KPKC) Sinode GKI.
ICP kemudian
menyimpulkan Papua telah mengalami pergeseran demografi sehingga Orang Asli
Papua (OAP) telah menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Kekhawatiran ini
telah dikonfirmasi oleh studi dari Proyek Papua Barat di Universitas Sydney.
Tahun 1970-an, penduduk asli Papua yang terdiri 70% dari populasi. Tapi hari
ini, penduduk asli Papua hanya 42% dari total populasi di Tanah Papua. Sebagai
konsekuensi dari pergeseran demografis, hubungan antara OAP dan non-OAP
ditandai dengan ketegangan, prasangka, diskriminasi dan kekerasan antara
masyarakat.
“Papua juga terus
mengalami isolasi dari setiap keterlibatan dengan masyarakat internasional,
termasuk pengamat internasional hak asasi manusia, wartawan, peneliti dan
pekerja kemanusiaan,” tambah Pendeta Albert Yoku.
Pertemuan Pemimpin
Gereja, pembela Hak Asasi Manusia, akademisi dan pengamat internasional ini
menghasilkan beberapa rekomendasi untuk pemerintah Indonesia dan Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia diminta mengakhiri penggunaan kekuatan yang berlebihan
aparat keamanan Indonesia dan meninjau lagi kebijakan keamanan di Papua dengan
melibatkan partisipasi luas dari masyarakat sipil di tingkat lokal dan
nasional; membebaskan semua tahanan politik tanpa syarat apapun; memastikan
bahwa impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia termasuk penyiksaan tidak
terjadi lagi.
Kemudian, dalam
konteks pergeseran demografi, ICP mendesak pemerintah Indonesia mengambil
langkah-langkah konkret untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Papua,
termasuk hak-hak adat mereka atas tanah dan sumber daya alam; dan mencegah
setiap potensi konflik atas dasar perbedaan etnis. Pemerintah Indonesia juga
diminta untuk melaksanakan komitmen Presiden Joko Widodo melakukan dialog
dengan rakyat Papua dengan tindakan nyata, seperti mengadakan negosiasi dengan
Negosiator Perdamaian Papua;
Sementara kepada Uni
Eropa ICP meminta Uni Eropa secara berkelanjutan menyoroti peningkatkan
pelanggaran hak asasi manusia di Papua dalam Dialog HAM antara Uni Eropa dan
Indonesia dengan mendukung keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil
termasuk kelompok Papua. Uni Eropa juga diminta mengirimkan misi pencari fakta
ke Papua dalam waktu dekat ini dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk
mengakhiri pembatasan akses praktis ke Papua.
Anggota ICP
Asian Human Rights
Commission (Hong Kong)
Christian Solidarity Worldwide (London)
Dominicans for Justice and Peace (Geneva)
Franciscans International (Geneva)
Geneva for Human Rights (Geneva)
Lutheran World Federation (Geneva)
Mensen met een Missie (The Hague)
Medcins du Monde
Mission 21 (Basel)
Pazifik Netzwerk e.V. (Neuendettelsau)
Pax Romana (Geneva)
Tapol (London)
United Evangelical Mission (Wuppertal)
Uniting World (Sydney)
Vivat International (Geneva)
West Papua Netzwerk (Wuppertal)
Christian Solidarity Worldwide (London)
Dominicans for Justice and Peace (Geneva)
Franciscans International (Geneva)
Geneva for Human Rights (Geneva)
Lutheran World Federation (Geneva)
Mensen met een Missie (The Hague)
Medcins du Monde
Mission 21 (Basel)
Pazifik Netzwerk e.V. (Neuendettelsau)
Pax Romana (Geneva)
Tapol (London)
United Evangelical Mission (Wuppertal)
Uniting World (Sydney)
Vivat International (Geneva)
West Papua Netzwerk (Wuppertal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar