Salah
satu lembaga hak asasi manusia internasional, Amnesti Internasional (AI)
meminta pihak berwenang di Indonesia untuk mengakhiri serangan-serangan
terhadap kebebasan berekspresi di wilayah Papua.
“Serangan-serangan
belakangan ini menjadi gambaran dari lingkungan represif yang dihadapi oleh
para aktivis politik dan jurnalis di daerah tersebut, dan impunitas yang terus
berlanjut bagi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di sana,”
Disebutkan, pada 26 Agustus 2014, aktivis politik Martinus Yohame ditemukan tewas di dalam karung, mengapung di dekat Pulau Nana di Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan luka-luka seperti yang dilaporkan, termasuk luka tembak di dadanya.
Martinus, ketua KNPB
(Komite Nasional Papua Barat) Sorong, sebuah gerakan pro-kemerdekaan di Papua,
sebelumnya hilang pada 20 Agustus.
Hilangnya Martinus, terjadi pada saat yang sama seorang aktivis politik lainnya ditahan secara semena-mena menjelang rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Provinsi Papua Barat untuk acara “Sail Raja Ampat”pada 23 Agustus.
KNPB telah melaporkan
rencana untuk menggelar protes di Sorong sekitar kunjungan Presiden dan akan
menaikan bendera pro-kemerdekaan Papua “Bintang Kejora”.
Pada kasus lainnya, lanjut Amnesty International, di provinsi yang sama, pada 8 Agustus polisi menangkap dan diduga melakukan penyiksaan atau penganiayaan terhadap dua pelajar di kabupaten Manokwari karena membuat grafiti pro-kemerdekaan, termasuk menyerukan sebuah referendum independen bagi Papua.
Pada kasus lainnya, lanjut Amnesty International, di provinsi yang sama, pada 8 Agustus polisi menangkap dan diduga melakukan penyiksaan atau penganiayaan terhadap dua pelajar di kabupaten Manokwari karena membuat grafiti pro-kemerdekaan, termasuk menyerukan sebuah referendum independen bagi Papua.
Keduanya, Robert
Yelemaken, pelajar sekolah menengah atas berusia 16 tahun, dan Oni Wea, seorang
mahasiswa perguruan tinggi berusia 21 tahun, juga merupakan aktivis-aktivis
KNPB.
Mereka dipukul di
kepala dan wajah dengan popor senjata, dan ditendang oleh polisi. Keduanya
dipaksa berguling digenangan air kotor dan minum cat. Mereka kemudian dibawa ke Kantor Polres
Manokwari di mana pemukulan tersebut diduga terus dilakukan.
Robert Yelemaken telah dibebaskan sejak saat itu, tetapi Oni Wea masih menghadapi tuduhan “penghasutan” di bawah Pasal 160 KUHP.
Lanjut AI, dua jurnalis Prancis juga ditangkap oleh polisi pada 6 Agustus di Wamena, Provinsi Papua, dan masih di tahanan karena pelanggaran imigrasi.
Thomas Dandois dan
Valentine Bourrat dilaporkan membuat film dokumenter tentang gerakan separatis
di wilayah Papua. Penangkapan mereka menyoroti pembatasan yang terus berlaku,
yang dihadapi oleh jurnalis, organisasi HAM, dan organisasi pengawas
internasional lainnya untuk mengakses Provinsi Papua dan Papua Barat.
Areki Wanimbo, ketua Dewan Adat Lani Besar, yang telah menemui kedua jurnalis, juga ditangkap oleh polisi pada hari yang sama dan dituduh mendukung aktivitas-aktivitas separatis.
Sejak saat itu Areki
dituduh melakukan “makar” di bawah Pasal 106 dan 110 dari KUHP, yakni,
kejahatan terhadap keamanan Negara. Pasal-pasal
ini telah digunakan secara semena-mena untuk memenjarakan puluhan orang di
Papua karena aktivitas politik damai mereka, beberapa hingga 20 tahun.
“Kami telah lama menyerukan akses yang bebas dan tanpa hambatan ke wilayah Papua bagi jurnalis dan organisasi HAM internasional, dan menyambut baik janji Presiden terpilih Joko Widodo pada Juni 2014 bahwa ia akan membuka akses terhadap wilayah tersebut jika terpilih.”
“Hak atas kebebasan berekspresi, beropini, dan berkumpul secara damai dijamin oleh Konstitusi Indonesia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, di mana Indonesia merupakan Negara Pihaknya,” kata Josef Benedict, koordinator kampanye Amnesty International untuk Indonesia dan Timor Leste.
Lebih lanjut disampaikan, Amnesty International juga menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk mencabut atau paling tidak mengamandemen produk-produk hukum yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk Pasal 106 dan 110 KUHP, agar mematuhi hukum dan standar-standar HAM internasional.
Dikatakan, Amenesty International tidak mengambil posisi apapun terkait status politik dari provinsi mana pun di Indonesia, termasuk menyerukan kemerdekaan.
“Namun demikian,
organisasi kami percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga mencakup hak
untuk mengadvokasi secara damai referendum, kemerdekaan, atau solusi politik
lainnya,” kata Josef.
Serangan-serangan terhadap kebebasan berekspresi harus berakhir, dan semua tahanan nurani (prisoners of conscience) – seperti mahasiswa perguruan tinggi Oni Wea, yang ditahan semata-mata karena secara damai menjalankan hak-hak mereka atas kebebasan berekspresi – harus segera dan tanpa syarat dibebaskan.
Lebih lanjut, Amnesty
International meminta pihak berwenang untuk melakukan investigasi yang cepat,
menyeluruh, kompeten, dan imparsial terhadap pembunuhan Martinus Yohame dan
semua tuduhan akan penyiksaan dan penganiayaan.
“Pelaku dari
kejahatan-kejahatan semacam ini harus dibawa ke muka hukum di persidangan yang
adil tanpa menggunakan hukuman mati, dan para korban dan keluarga mereka harus diberikan reparasi,” tegas
Josef.